Inilah bebek Jakarta, di bawah jalan layang kereta api di Cikini, makan dr sampah-2. Kata T. Ostenrik, bebek JKT adalah bebek yang bahagia dan moderen, krn makan sisa-2 French Fries, burger dan fried chicken.
Mengenai Saya
Kategori
- Bencana dan Reliefs (1)
- Buruh Migran dan Trafficking (1)
- Capacity Building (1)
- Catatan Perjalanan (4)
- Cooking dan Kuliner (1)
- Film dan Kajian (1)
- Galang Dana (1)
- HAM (1)
- Kesehatan Reproduksi (1)
- Manajemen Program (1)
- Media (1)
- Seni Pertunjukan (1)
- Seni Rupa (1)
Jumat, Juni 03, 2011
Bebek Jakarta
Diposting oleh Bernadet Gayatri di 20.07 0 komentar
Label Catatan Perjalanan
Bebek Yogya
Bebek Yogya 1
Inilah barisan bebek-bebek (petelor) di kota Yogya --yg masih banyak sawah itu--, berderap di pematang menuju sawah yg banyak cacing & segala sisa panen, utk dimakan.
Bebek Yogya 2
dan para bebek makan dengan lahapnya
Diposting oleh Bernadet Gayatri di 19.57 0 komentar
Label Catatan Perjalanan
Morahan
"Morahan"
Untung Law Firm ini ada di Victoria. coba kalau buka di Indonesia, bakalan nggakDa yg datang. Soalnya MURAHAN siiih....
Diposting oleh Bernadet Gayatri di 19.39 0 komentar
Label Catatan Perjalanan
Rabu, Mei 06, 2009
= Naik Ferry: Merak-Bakauheni =
= Naik Ferry: Merak-Bakauheni =
Terkadang, sebuah pengalaman yang sederhana, bisa mendatangkan
buah pikiran atau refleksi. Kali ini datang dari hal Naik Ferry.
Baru-baru ini untuk perjalanan tugas ke Lampung, untuk acara Konsultasi
Nasional organisasi Perserikatan Solidaritas Perempuan, saya naik bis
Damri dengan rute stasiun Gambir - stasiun Bandar Lampung (yang saya lupanamanya).
Terus terang, karena hari-hari sebelumnya saya lelah mempersiapkan
berbagai macam tugas sebelum keluar
berat (alias ngaplek abis). Sejak bis masuk tol di Tomang hingga pelabuhanMerak.
Sesampainya di pelabuhan Merak, bis masuk badan kapal, terguncang-guncang cukup keras, cukup untuk membuat saya terbangun. Dan
dimulailah kisah ini.
* * *
Memang ini bukan pertama kalinya saya naik ferry.
Seingat saya, pertama kali naik ferry adalah penyeberangan Ketapang - Gilimanuk tahun '74 bersama keluarga saya liburan di
Namun pengalaman naik ferry Merak-Bakauheni ini mengingatkan saya pada --dan juga membuat saya membandingkan dengan-- 2 penyeberangan terakhir saya.
September 2002, pada penyeberangan dari Pulau Bali ke Pulau Gili Meno, tempat wisata di selat
Perusahaan kapal penyeberangan berjudul "Bonti" ini bahkan lebih cepat darikapal penyeberangan yang sama dari perusahaan "Bali Hai". Karena mesinnya yang separuh kemampuan mesin kapal Bonti ini. Ma'af, saya tidak sedang promosi, tapi kapal yang yang saya naiki ini memang
bagus betul(*).
Tehnologi kapal Ustrali ini, membuat palka kapal di bawah itu bolong-long. Semacam 'sepa-sepa' untuk kapal nelayan kita. 'Sepa-sepa' adalah bambu yangdi letakkan di sisi kiri-kanan kapal untuk menahan gelombang. Istilah 'Sepa-sepa' untuk setiap daerah di Indoensia mungkin berbeda, karena kayanya nuansa bahasa tiap etnis nusantara. Konon, kapal Bonti ini, --dengan tekhnologi palka bolong itu-- memang diimpor karena dianggap mampu untuk mengatasi ombak selat Lombok yang dikenal sama dashyatnya seperti ombak dan arus di selat
Hal tersebut memang terbukti ketika kapal melaju pesat, nyaris tak bergoyang,seperti kapal tipe jet-foil. Maklum sempat mengalami juga naik jet-voil dari pelabuhan Panjang (Lampung) - ke Tanjung Priok (tahun '84), hingga jet-voil yang ukurannya lebih besar lagi, yaitu dengan rute Vancouver-Victoria (tahun '93). Tahun-tahun masa itu kapal tipe jet-voil mencapai "jaman keemasannya", dimana kapal (baca kendaraan bahari) dapat memiliki kecepatan yang hampir sama dengan kendaraan di darat. Sekarang semuanya era jet-voil itu, tampaknya, tinggal kenangan. Konon, tekhnologi yang tidak populer tidak akan berumur panjang. Lihat saja nasib pesawat supersonik komersial Concorde yang harusgrounded, karena tidak populer, disebabkan karena harga tiket yang terlalu mahal.
Kembali ke Bonti, yang menarik adalah perlakuan awak kapal ketika kapal
berangkat/ buang sauh. Dimana diberlakukan standar seperti di pesawat
terbang. Semua penumpang diberi emergency drill seperti: bagaimana caramemasang pelampung kapal, dimana letak pelampung, kemana harus melarikandiri, dst.. dst.
Saya jadi teringat penglaman naik ferry Vancouver-Victoria pp, July 2003 lalu. Di negara maju macam Kanada begitu, ternyata tidak ada emergency drill di kapal. Saya sempat berjalan-jalan untuk mencari dimana letak pelampung, bagaimana harus melarikan diri ketika keadaan darurat, dst, dst, karena tidak ada emergency drill.
Kadang-kadang saya jadi berpikir sendiri, apakah ini hasil 3 tahun bekerja
sebagai buruh-kontraknya pemerintah Amerika Serikat? Sedikit-dikit jadi parno (paranoid) dan selalu mendrill diri sendiri untuk keadaan darurat. Omong-omong soal kedutaan amrik di
sekelompok
Ataukah ini akibat dari latihan emergency relief dari Medecins San Frontiers yang pernah saya dapat. Walahualam! Yang jelas, saya jadi terbiasa men-drill diri sendiri, mempersiapkan diri untuk keadaan darurat.
* * *
Nah, kembali ke ferry menuju Lampung ini, saya yang masih di dalam bis inibersiap-siap untuk keluar dari bis. Lucunya, kondektur dan supir bis bilang, bahwa penumpang boleh tetap tinggal di dalam bis. Dasar saya sudah menjadi parno, maka saya bertanya-tanya, bagaimana kalau ferry tenggelam? Bagaimana kita akan melarikan diri? Jendela kapal yang terlihat dari bis, semuanya berjeruji, saya langsung merasa clostrophobic, saya keluar dari bis. Saya sempat membatin, paling tidak di ferry Vancouver-Victoria masih lebih baik, karena semua penumpang diharuskan ke kapal bagian atas. Meskipun di ferry itu tidak adaemergency drill.
Sebetulnya, dengan para penumpang naik ke bagian atas kapal, setidaknya, jika kapal tenggelam para penumpang tidak terjebak di palka bagian bawah kapal. Apalagi di dalam ferry Merak-Bakauheni ini, jendela-jendela kapal malah dipalang besi. Artinya, tidak ada celah seukuran manusia untuk melarikan diri keluar kapal jika kapal tenggelam. Saya sungguh heran, konstruksi dan emergency plan apa yang ada di benak pemalang jendela kapal ini?
Cukup sulit saya menemukan jalan untuk dapat ke atas kapal ferry yang sudahbutut, dekil, kuotor banget dan tidak terawat ini. Belum lagi,
beberapa kendaraan ternyata tidak mematikan mesin mereka,... huaahhh.. asapcarbondioksid nya itu lho kemana-mana. Menebarkan racun ke seantero ruang palka kapal ini. Betul-betul tidak sehat.
Kapal ferry yang ternyata adalah lungsuran dari negeri Jepun alias Jepang ini, masih tetap dengan segala tempelannya yang beraksara katakana. Oh well!
Saya berjalan kesana-kemari mencari tempat untuk duduk penumpang,...
dan tidak ada petunjuk kecuali tulisan jepun yang tidak saya pahami itu.
Oh well! Untuk situasi semacam ini saya sering membatin sendiri secara sinis...."welcome to
Akhirnya saya mendapatkan jalan ke buritan kapal, mencari udara segar, menyaksikan ferry ini buang sauh sambil memperhatikan pelabuhan Merak yang sudah lama tidak saya lihat. Terakhir saya menyeberang lewat Merak ini di tahun '86, ketika ikut ekspedisi arung jeram ke sungai Alas di hutan ujung sumatera nan daerahnya Gerakan Aceh Merdeka. Jadi saya sedang mengingat-ingat keadaan pelabuhan Merak saat itu dan saat kini.
Saya juga jadi teringat, penyeberangan saya ke
Dasar perempuan semua, dengan serta-merta mereka berteriak-teriak histeris,minta kapal merapat lagi. (Eh gilingan/gila kali ya,.. siapa loe kok
minta kapal merapat lagi) Tidak bisa tidak, saya hanya tertawa-tawa saja,
menyaksikan teman-teman saya histeris di pagi buta. Sementara teman yangdisamping saya jadi panik. Hampir saja saya bilang ke dia, ... "kita
berenang saja nyusul mereka" (sambil tertawa dengan muka yang evil-devil), kalau saja saya tidak menyadari, bahwa muka teman saya ini kecut sekali karena saya hanya tertawa-tawa. Teman saya ini baru tenang ketika saya bilang "another 20 minutes the next ferry will follow"
Lagi enak-enaknya mengingat-ingat cerita-cerita lucu seputar penyeberangan nan naik kapal, ... saya dikejutkan oleh teriakan seorang laki-laki di sebelah bawah buritan kapal. Saya tidak mengerti kenapa dia berteriak-teriak kearah saya. Saya menyingkir untuk tetap dapat melihat pemandangan di sekitar pelabuhan yang sekarang tampaknya sudah mulai menjadi daerah pelabuhan untuk keperluan industri berat. Karena terlihat kapal-kapal dengan bijih besi yang kelihatan sepertipasir hitam saja, sedang memindahkan bijih besi ke daratan.
Sayang, saya tadi melewatkan pemandangan kontroversi kompleks Krakatau Steel di perjalanan tadi. Soalnya seperti getto tersendiri dari seronoknya tipe perumahan penduduk setempat di Cilegon yang cenderung kumuh dan "RSSSSSS" (baca: bersahaja).
Eeehh..!!! Tiba-tiba laki-laki yang tadi meneriakkan saya dari bawah
sudah berada di samping saya. Dia mencolek saya sambil berkata, ".. janganmelamun, nanti kamu bisa terjungkal ke bawah, jatuh ke laut..". Terus terang saya lebih kaget karena dia seolah-olah ziip muncul di depan saya. Tetapi kaget saya bercampur jengkel, dengan apa yang dia sampaikan. Emangnya dia pikir saya anak umur 3-4 tahunan yang tidak tahu bahaya? Saya pikir, kurang ajar betul lelaki ini! Saya sungguh terheran-heran dibuatnya, dan jadi bertanya-tanya sendiri.
Pertama, apakah kalau saya ini adalah sesama laki-laki, dia akan berani berkata seperti itu? Kedua, dari mana dia tahu, apakah saya sedang melamun atau berpikir? Mau bilang, "you are hazzling me"... kok dia
orang
Waktu saya sampaikan cerita ini ke teman-teman yang --nota bene sadar
gender itu-- ketika sudah di Lampung, saya malah ditertawakan. Mereka bilang, karena saya bukan orang Madura. Apa hubungannya coba? Kata teman-teman,kalau saya orang Madura, pasti saya pasti langsung terjun ke laut. Sialan, maksud hati mengadu malah diplesetin becandaan orang Madura.
Oke, beralih dari laki-laki sok jagoan, pahlawan kesiangan yang perlu
diberi pemahaman gender itu, kita beralih ke soal emergency drill.
Rupa-rupanya, banyak teman-teman saya yang ketika saya ceritakan bahwaadalah berbahaya untuk tetap tinggal di dalam bis ketika naik ferry, tidakmenyadari bahayanya.
Baru ketika saya tanya, apakah nonton filem "Titanic"? Dan umumnya mereka menjawab, ya. Baru mereka menyadari, ketika kapal akan
tenggelam, semua penumpangnya lari ke bagian teratas dari kapal.
Well... well... well..., welcome to the Indonesia Civil Society. Saya jadi
bertanya-tanya, ... apakah saya sudah menjadi parno karena pengaruh budayaparno-nya Amrik, yang jelas-jelas setelah September 11 menyebarkan "TheEpidemic of Paranoia". Ataukah memang murni kesadaran saya menyoalemergency condition awareness? Walahualam.
Salam dari Mampang, awal Maret 2004
Buat semua teman-teman saya yang hendak naik kapal, apapun juga
jenis kapalnya, be aware of your own safetyness
(*) Kapal Bonti ini sejak akhir tahun 2005 sudah tidak beroperasi lagi. Karena wisatawan yang datang ke
Diposting oleh Bernadet Gayatri di 01.12 0 komentar
Label Catatan Perjalanan
Senin, Mei 04, 2009
Leila Khaled; Pejuang Kemerdekaan Palestina
Leila Khaled; Pejuang Kemerdekaan Palestina
Tanpa ‘Bau Darah’,
Lina Makboul dalam “Leila Khaled Hijacker”.[1]
Oleh: BJD. Gayatri
“I was in the middle of the fight .. I cared about my goal, not appearance.” (Leila Khaled)
Pengantar
Sekelumit Sejarah Tanah Palestina
Memahami perjuangan Leila Khaled, adalah juga memahami perjuangan rakyat Palestina, serta sejarah rumit tanah Palestina, yang dalam Alkitab dikenal dengan nama “Kanaan” atau ‘Tanah Terjanji’. Di masa kekuasaan Kekaisaran Romawi, terutama pada masa Kaisar Titus (tahun 70 SM), bangsa Yahudi diusir keluar dari Palestina dan
Sesungguhnya, masuknya kembali Bangsa Yahudi ke Tanah Palestina sudah dimulai sebelum Perang Dunia I, yaitu pada tahun 1917 melalui “Deklarasi Balfour” yang diprakarsai oleh Inggris. Namun baru pada periode sesudah Perang Dunia II-lah, sebagai akibat dari genosida bangsa Yahudi selama Perang Dunia II tersebuat, mendorong gelombang kembalinya bangsa Yahudi, khususnya dari Eropa, terjadi secara besar-besaran, sehingga tak pelak lagi “menggusur” bangsa Palestina yang sudah bermukim disitu selama puluhan abad[7]. Dan sejak saat itu, semakin rumitlah permasalahan Tanah Palestina.
Semestinya sejarah dan kita semua mencatat, apa yang terjadi dengan bangsa Palestina ini adalah justru sebuah fenomena yang tidak kalah menyedihkannya dari genosida pada P.D. II tersebut. Dimana jutaan bangsa Palestina kemudian malah menjadi pengungsi, hidup di tenda-tenda pengungsi meninggalkan tanah pertiwi mereka, karena terusir dari tanah mereka sendiri. Parahnya lagi, perang Arab-Israel yang semestinya dapat mengembalikan tanah mereka tersebut malah menjadi bumerang. Sepenuhnya tanah Palestina malah menjadi negara
Propaganda Israel
Kalau kita mencermati kolase dari stockshots berita-berita di masa lalu, yang digunakan Lina Makboul dalam filmnya. Jelas-jelas dikatakan bahwa orang-orang Yahudi itu adalah “pengungsi” –yang datang entah dari negara mana saja di Eropa– yang “pulang kampung”.
“The victim of the Holocaust have, after years in exile - a country they can call their own.”
“Journey’s End. The first of ten thousand Jewish refugees arrive at
Dalam kondisi tidak terdengarnya suara penderitaan dan perjuangan bangsa Palestina inilah, muncul gagasan untuk membajak pesawat. Dan seorang perempuan Palestina rela menjadi bagian dari perjuangan bangsanya.
“I will explain why the plane was hi-jacked. We had to; to get attention – so that the world would understand our case. We weren’t refugees who were satisfied with aid. It wasn’t a natural disaster that made us refugees. We captured the planes to ask the world a question. Who are the Palestinians?”[10].
Label ini merupakan semacam pemberian identitas teroris kepada siapapun bangsa Palestina yang berjuang untuk kemerdekaan Tanah Palestina. Sementara orang-orang Yahudi di Israel –dan mungkin juga di banyak belahan dunia yang lain– menganggap, tindakan mereka membantai bangsa Palestina adalah bukan kekerasan, bukan teroris, bukan kejahatan.
Label tersebut bahkan kemudian telah menjadi kesadaran semu bagi kebanyakan orang-orang Palestina. Contohnya, meskipun secara bercanda rekan Leila Khaled berbicara di depan kamera,
..”…You know Leila Khaled? She is a terrorist. …”.
Meski akhirnya pernyataan tersebut diperbaiki,
“… They want to make propaganda against her that she was a terrorist. But really, she is not a terrorist. She is a freedom fighter.”
Label inilah yang kemudian melekat pada sosok kepribadian Leila Khaled, yang disebarkan oleh media Amerika dan Eropa yang pro okupasi orang-orang Yahudi di Tanah
“Is this young lady will go to a convent? …Is she will like to get married and raised children?”
Jika kita simak apa yang dikemukakan oleh mantan Perdana Mentri Golda Meir, dimuka pers:
“ … She will do it again to kill Israeli men, women and children. This is what their organization stands for. ”
yang memberikan citra bahwa Leila Khaled adalah teroris pembunuh berdarah dingin. Propaganda ini merupakan pembalikan kenyataan. Karena, kenyataan yang sebenarnya, pernyataan Golda Meir adalah cerminan apa yang justru “The Stern Gang” lakukan. Bangsa Yahudi itulah yang memulai pembantaian rakyat Palestina.
“… But then I become scared, scared of myself. I was scared I would suffer delusions of grandeur. That’s why I moved to a refugee camp.”
Juga pertanyaan-pertanyaan wartawan yang membuatnya jengkel, karena menanyakan hal-hal yang personal, yang stereotip perempuan: berapa lama berdiri di depan kaca; punya pacar tidak, dan bukan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya sebagai pejuang [Palestina].
“They thought I was unfeminine. As if I wasn’t human.”
“ After, he wrote that I was a cold person who couldn’t fall in love.”
Bagi Leila, pertanyaan-pertanyaan para wartawan tersebut, mengandaikan bahwa dia adalah seorang aktris atau seorang penari. Tetapi yang menarik adalah jawaban Leila kepada para wartawan tersebut:
“ … it was easier to hi-jack an airplane than to teach”
Perjuangan Leila ini bahkan juga telah memberikan inspirasi kepada seorang penulis John Le CarrĂ© untuk menulis sebuah novel “Little Drummer Girl”. Bagi penulis sendiri, film karya Lina Makboul ini jelas memberikan inspirasi yang amat berwarna dengan berbagai faset perjuangan, kehidupan dan pemikiran.
Kalibata, 9 Juli 2007 – 3 Desember 2007
Untuk adinda L, yang senantiasa menemani dan menyemangati saat-saat sakit
“One Day in September”, sutradara Kevin MacDonald, Narasi Michael Douglas, Sonny Pictures Classics, 2001.
“Schindler’s List”, sutradara Stephen Spielberg, Universal Pictures, 1997
“The Pianist”, sutradara Roman Polanski, Focus Feature, 2002
[1] Artikel ini pada awalnya merupakan artikel bedah film yang dipresentasikan pada Diskusi Film “Leila Khaled Hijacker”, dalam rangka Eagle Awards, diselenggarakan oleh Indocs, di Cinepleks Taman Ismail Marzuki, 11 Juli 2007.
[2] Kewarga-negaraan Swedia, keturunan Palestina.
[3] Yang dimaksud penulis dengan dunia barat adalah negara-negara anggota NATO, termasuk Amerika Serikat
[4] Ensiklopedi
[5] Penuturan remaja Yahudi yang tinggal di Rusia, dalam film dokumenter “Hijack”, dalam Program “Inside Crime”, National Geographic Cahnnel, Rabu 17 Oktober 2007, pk.22.00-23.00
[6] op.cit. hal. 2661.
[7] Lihat juga dalam Film “Leila Kaled Hijacker”, dimana footage yang tepat disodorkan Lina Makboul kepada penonton.
[8] Dari sebuah film dokumenter yang lain “One Day in September” (Kevin MacDonald), dinyatakan bahwa terjadi pembantaian bangsa Palestina oleh Gang Zionist juga di Galilea pada tahun 1948. Jadi, sesungguhnya pembantaian oleh orang-orang Yahudi terhadap bangsa Palestina terus-menerus terjadi, sejak tahun 1948. Bandingkan dengan invasi
[9] Bandingkan dengan penggambaran
[10] Bandingkan: Pernyataan dari Jamal al Ghasey pelaku pembunuhan atlit Israel-Yahudi pada Olimpiade Munich pada tahun 1972 (atau 2-3 tahun setelah Leila Khaled membajak pesawat), dalam film dokumenter “One Day in September” (Kevin MacDonald – Sony Pictures Calssics). Meski tujuannya sama-sama untuk menarik perhatian dunia internasional, namun peristiwa ini menjadi awal dari terorisme berdarah yang dilakukan oleh pejuang Palestina.
[11] Seolah tanpa pengawalan ketat, dia adalah seorang “wonder woman” yang akan mampu melawan dan melumpuhkan beberapa orang sekaligus.
[12] Dalam studi media monitoring pada Koran “Pos Kota” mengenai gender dan seksualitas yang penulis lakukan lebih dari 10 tahun yang lalu mendapati bahwa jika kriminalitas dilakukan oleh perempuan, hal itu akan merupakan semacam kejutan bagi reporter, dan kemudian kurang lebih menuliskan “perempuan kok berbuat kriminal”. Esensi dari pola piker ini adalah stereotip peran gender itu tadi, bahwa perempuan selayaknya tidak berbuat kriminal, karena dia mahluk yang semestinya penuh kasih sayang. Padahal kebaikan ataupun kejahatan, termasuk kriminalitas bias dilakukan oleh siapa saja, tidak terlepas jenis kelaminnya.
[13] Bandingkan juga dengan tragedi pada Olimpiade Munich 1972, dalam Film “One Day in September”.
Diposting oleh Bernadet Gayatri di 16.39 0 komentar
Label Film dan Kajian
Kontak
Daftar Link
Pesan
|