Jumat, Juni 03, 2011

Bebek Jakarta


Inilah bebek Jakarta, di bawah jalan layang kereta api di Cikini, makan dr sampah-2. Kata T. Ostenrik, bebek JKT adalah bebek yang bahagia dan moderen, krn makan sisa-2 French Fries, burger dan fried chicken.

Bebek Yogya


Bebek Yogya 1
Inilah barisan bebek-bebek (petelor) di kota Yogya --yg masih banyak sawah itu--, berderap di pematang menuju sawah yg banyak cacing & segala sisa panen, utk dimakan.


Bebek Yogya 2
dan para bebek makan dengan lahapnya

Morahan


"Morahan"
Untung Law Firm ini ada di Victoria. coba kalau buka di Indonesia, bakalan nggakDa yg datang. Soalnya MURAHAN siiih....

Rabu, Mei 06, 2009

= Naik Ferry: Merak-Bakauheni =

= Naik Ferry: Merak-Bakauheni =


Terkadang, sebuah pengalaman yang sederhana, bisa mendatangkan
buah pikiran atau refleksi.  Kali ini datang dari hal Naik Ferry.

Baru-baru ini untuk perjalanan tugas ke Lampung, untuk acara Konsultasi
Nasional organisasi Perserikatan Solidaritas Perempuan, saya naik bis
Damri dengan rute stasiun Gambir - stasiun Bandar Lampung (yang saya lupanamanya).
Terus terang, karena hari-hari sebelumnya saya lelah mempersiapkan
berbagai macam tugas sebelum  keluar kota
 ini, maka saya tidur lelap
berat (alias ngaplek abis).  Sejak bis masuk tol di Tomang hingga pelabuhanMerak.

Sesampainya di pelabuhan Merak, bis masuk badan kapal, terguncang-guncang cukup keras, cukup untuk membuat saya terbangun.  Dan
dimulailah kisah ini.

* * *

Memang ini bukan pertama kalinya saya naik ferry.
Seingat saya, pertama kali naik ferry adalah penyeberangan Ketapang - Gilimanuk  tahun '74 bersama keluarga saya liburan di Bali.
Namun pengalaman naik ferry Merak-Bakauheni ini mengingatkan saya pada --dan juga membuat saya membandingkan dengan-- 2 penyeberangan terakhir saya.

September 2002, pada penyeberangan dari Pulau Bali ke Pulau Gili Meno, tempat wisata di selat Lombok itu, saya naik kapal moderen super cepat buatan Ustrali.  Kecepatan sampai 40 knots/jam (setara 100km/jam), ini kecepatan yang hampir sama seperti kapal fregat Angkatan Laut kita.
Perusahaan kapal penyeberangan berjudul "Bonti" ini bahkan lebih cepat darikapal penyeberangan yang sama dari perusahaan "Bali Hai".  Karena mesinnya yang separuh kemampuan mesin kapal Bonti ini.  Ma'af, saya tidak sedang promosi, tapi kapal yang yang saya naiki ini memang
bagus betul(*).

Tehnologi kapal Ustrali ini, membuat palka kapal di bawah itu bolong-long. Semacam 'sepa-sepa' untuk kapal nelayan kita.  'Sepa-sepa' adalah bambu yangdi letakkan di sisi kiri-kanan kapal untuk menahan gelombang.  Istilah 'Sepa-sepa' untuk setiap daerah di Indoensia mungkin berbeda, karena kayanya nuansa bahasa tiap etnis nusantara.  Konon, kapal Bonti ini, --dengan tekhnologi palka bolong itu-- memang diimpor karena dianggap mampu untuk mengatasi ombak selat Lombok yang dikenal sama dashyatnya seperti ombak dan arus di selat Bali.

Hal tersebut memang terbukti ketika kapal melaju pesat, nyaris tak bergoyang,seperti kapal tipe jet-foil.  Maklum sempat mengalami juga naik jet-voil dari pelabuhan Panjang (Lampung) - ke Tanjung Priok (tahun '84), hingga jet-voil yang ukurannya lebih besar lagi, yaitu dengan rute Vancouver-Victoria (tahun '93).  Tahun-tahun masa itu kapal tipe jet-voil mencapai "jaman keemasannya", dimana kapal (baca kendaraan bahari) dapat memiliki kecepatan yang hampir sama dengan kendaraan di darat.  Sekarang semuanya era jet-voil itu, tampaknya, tinggal kenangan.  Konon, tekhnologi yang tidak populer tidak akan berumur panjang.  Lihat saja nasib pesawat supersonik komersial Concorde yang harusgrounded, karena tidak populer, disebabkan karena harga tiket yang terlalu mahal.

Kembali ke Bonti, yang menarik adalah perlakuan awak kapal ketika kapal 
berangkat/ buang sauh.  Dimana diberlakukan standar seperti di pesawat
terbang.  Semua penumpang diberi emergency drill seperti: bagaimana caramemasang pelampung kapal, dimana letak pelampung, kemana harus melarikandiri, dst.. dst.
Saya jadi teringat penglaman naik ferry Vancouver-Victoria pp, July 2003 lalu.    Di negara maju macam Kanada begitu, ternyata tidak ada emergency drill di kapal.  Saya sempat berjalan-jalan untuk mencari dimana letak pelampung, bagaimana harus melarikan diri ketika keadaan darurat, dst, dst, karena tidak ada emergency drill.

Kadang-kadang saya jadi berpikir sendiri, apakah ini hasil 3 tahun bekerja
sebagai buruh-kontraknya pemerintah Amerika Serikat?  Sedikit-dikit jadi parno (paranoid) dan selalu mendrill diri sendiri untuk keadaan darurat.  Omong-omong soal kedutaan amrik di Jakarta yang parno itu.  Pernah suatu ketika kami sedang rapat di dalam kompleks kedutaan.  Rapat yang sedang berjalan seru-serunya itu, tiba-tiba harus dipotong dan kami (termasuk saya) yang bukan berkantor di dalam kompleks kedutaan, harus cepat-cepat keluar.  Hanya karena kedutaan akan di demo oleh
sekelompok massa tertentu!!! (dan pengalaman ini sempat berulang beberapa kali)  Alamak!!!

Ataukah ini akibat dari latihan emergency relief dari Medecins San Frontiers yang pernah saya dapat.  Walahualam! Yang jelas, saya jadi terbiasa men-drill diri sendiri, mempersiapkan diri untuk keadaan darurat.

* * *

Nah, kembali ke ferry menuju Lampung ini, saya yang masih di dalam bis inibersiap-siap untuk keluar dari bis.  Lucunya, kondektur dan supir bis bilang, bahwa penumpang boleh tetap tinggal di dalam bis.  Dasar saya sudah menjadi parno, maka saya bertanya-tanya, bagaimana kalau ferry tenggelam?  Bagaimana kita akan melarikan diri?  Jendela kapal yang terlihat dari bis, semuanya berjeruji, saya langsung merasa clostrophobic, saya keluar dari bis.  Saya sempat membatin, paling tidak di ferry Vancouver-Victoria masih lebih baik, karena semua penumpang diharuskan ke kapal bagian atas.  Meskipun di ferry itu tidak adaemergency drill.

Sebetulnya, dengan para penumpang naik ke bagian atas kapal, setidaknya, jika kapal tenggelam para penumpang tidak terjebak di palka bagian bawah kapal.  Apalagi di dalam ferry Merak-Bakauheni ini, jendela-jendela kapal malah dipalang besi.  Artinya, tidak ada celah seukuran manusia untuk melarikan diri keluar kapal jika kapal tenggelam.  Saya sungguh heran, konstruksi dan emergency plan apa yang ada di benak pemalang jendela kapal ini?

Cukup sulit saya menemukan jalan untuk dapat ke atas kapal ferry yang sudahbutut, dekil, kuotor banget dan tidak terawat ini.  Belum lagi,
beberapa kendaraan ternyata tidak mematikan mesin mereka,... huaahhh.. asapcarbondioksid nya itu lho kemana-mana.  Menebarkan racun ke seantero ruang palka kapal ini.  Betul-betul tidak sehat.

Kapal ferry yang ternyata adalah lungsuran dari negeri Jepun alias Jepang ini, masih tetap dengan segala tempelannya yang beraksara katakana.  Oh well!
Saya berjalan kesana-kemari mencari tempat untuk duduk penumpang,...
dan tidak ada petunjuk kecuali tulisan jepun yang tidak saya pahami itu.
Oh well!  Untuk situasi semacam ini saya sering membatin sendiri secara sinis...."welcome to Indonesia"

Akhirnya saya mendapatkan jalan ke buritan kapal, mencari udara segar,  menyaksikan ferry ini buang sauh sambil memperhatikan pelabuhan Merak yang sudah lama tidak saya lihat.    Terakhir saya menyeberang lewat Merak ini di tahun '86, ketika ikut ekspedisi arung jeram ke sungai Alas di hutan ujung sumatera nan daerahnya Gerakan Aceh Merdeka.  Jadi saya sedang mengingat-ingat keadaan pelabuhan Merak saat itu dan saat kini.

Saya juga jadi teringat, penyeberangan saya ke Bali tahun '95.  Saya sedang bersama beberapa teman dari Yogya naik mobil carteran ke Bali.  Saat itu masih jam 4 pagi waktu kami tiba di pelabuhan Ketapang, dan saya dengan seorang teman pergi ke kamar kecil, yang lainnya tidur pulas, bablas.  Waktu saya dan teman selesai dari toilet, kami tidak melihat mobil sewaan.  Ternyata mobil sudah masuk ke dalam ferry, dan semua teman-teman kami sudah keluar dari mobil.  Sayangnya, ferry sudah buang sauh alias saya dan teman saya tertinggal di darat.

Dasar perempuan semua, dengan serta-merta mereka berteriak-teriak histeris,minta kapal merapat lagi. (Eh gilingan/gila kali ya,.. siapa loe kok
minta kapal merapat lagi)  Tidak bisa tidak, saya hanya tertawa-tawa saja,
menyaksikan teman-teman saya histeris di pagi buta.  Sementara teman yangdisamping saya jadi panik.  Hampir saja saya bilang ke dia, ... "kita
berenang saja nyusul mereka" (sambil tertawa dengan muka yang evil-devil), kalau saja saya tidak menyadari, bahwa muka teman saya ini kecut sekali karena saya hanya tertawa-tawa.  Teman saya ini baru tenang ketika saya bilang "another 20 minutes the next ferry will follow"

Lagi enak-enaknya mengingat-ingat cerita-cerita lucu seputar penyeberangan nan naik kapal, ... saya dikejutkan oleh teriakan seorang laki-laki di sebelah bawah buritan kapal.  Saya tidak mengerti kenapa dia berteriak-teriak kearah saya.  Saya menyingkir untuk tetap dapat melihat pemandangan di sekitar pelabuhan yang sekarang tampaknya sudah mulai menjadi daerah pelabuhan untuk keperluan industri berat.  Karena terlihat kapal-kapal dengan bijih besi yang kelihatan sepertipasir hitam saja, sedang memindahkan bijih besi ke daratan.

Sayang, saya tadi melewatkan pemandangan kontroversi kompleks Krakatau Steel di perjalanan tadi.  Soalnya seperti getto tersendiri dari seronoknya tipe perumahan penduduk setempat di Cilegon yang cenderung kumuh dan "RSSSSSS" (baca: bersahaja).

Eeehh..!!!  Tiba-tiba laki-laki yang tadi meneriakkan saya dari bawah
sudah berada di samping saya.  Dia mencolek saya sambil berkata, ".. janganmelamun, nanti kamu bisa terjungkal ke bawah, jatuh ke laut..".  Terus terang saya lebih kaget karena dia seolah-olah ziip muncul di depan saya.  Tetapi kaget saya bercampur jengkel, dengan apa yang dia sampaikan.    Emangnya dia pikir saya anak umur 3-4 tahunan yang tidak tahu bahaya?  Saya pikir, kurang ajar betul lelaki ini!  Saya sungguh terheran-heran dibuatnya, dan jadi bertanya-tanya sendiri.

Pertama, apakah kalau saya ini adalah sesama laki-laki, dia akan berani berkata seperti itu?  Kedua, dari mana dia tahu, apakah saya sedang melamun atau berpikir?  Mau bilang, "you are hazzling me"... kok dia 
orang Indonesia.  Mau bilang, "emangnye lu pikir orang diem itu selalu melamun?",kok kayaknya nggak sopan.  Ketiga, emangnya dia pikir saya nggak bisa berenang kayak dia?

Waktu saya sampaikan cerita ini ke teman-teman yang --nota bene sadar
gender itu-- ketika sudah di Lampung, saya malah ditertawakan.  Mereka bilang, karena saya bukan orang Madura.  Apa hubungannya coba?  Kata teman-teman,kalau saya orang Madura, pasti saya pasti langsung terjun ke laut.  Sialan, maksud hati mengadu malah diplesetin becandaan orang Madura.


Oke, beralih dari laki-laki sok jagoan, pahlawan kesiangan yang perlu
diberi pemahaman gender itu, kita beralih ke soal emergency drill.
Rupa-rupanya, banyak teman-teman saya yang ketika saya ceritakan bahwaadalah berbahaya untuk tetap tinggal di dalam bis ketika naik ferry, tidakmenyadari bahayanya.

Baru ketika saya tanya, apakah nonton filem "Titanic"?  Dan umumnya mereka menjawab, ya.  Baru mereka menyadari, ketika kapal akan
tenggelam, semua penumpangnya lari ke bagian teratas dari kapal. 
Well... well... well..., welcome to the Indonesia Civil Society.  Saya jadi
bertanya-tanya, ... apakah saya sudah menjadi parno karena pengaruh budayaparno-nya Amrik, yang jelas-jelas setelah September 11 menyebarkan "TheEpidemic of Paranoia".  Ataukah memang murni kesadaran saya menyoalemergency condition awareness?  Walahualam.


Salam dari Mampang, awal Maret 2004
Buat semua teman-teman saya yang hendak naik kapal, apapun juga
jenis kapalnya, be aware of your own safetyness

(*) Kapal Bonti ini sejak akhir tahun 2005 sudah tidak beroperasi lagi.  Karena wisatawan yang datang ke Bali
 menurun drastis, akibat Bom Bali September 2002.  Persis setelah saya usai berlibur di pulau Gili Meno naik Bonti itu.

Senin, Mei 04, 2009

Leila Khaled; Pejuang Kemerdekaan Palestina

 

Leila Khaled; Pejuang Kemerdekaan Palestina

Tanpa ‘Bau Darah’,

 

Lina Makboul dalam “Leila Khaled Hijacker”.[1]

Oleh: BJD. Gayatri

 “A not unattractive girl, the Palestinians feels she gives the movement a touch of glamour”. (suara pembawa berita) 

“I was in the middle of the fight .. I cared about my goal, not appearance.” (Leila Khaled)

  

Pengantar

Beberapa waktu Indocs bekerja sama dengan Kineforum memutar film “Leila Khaled Hijacker” karya debutan Lina Makboul[2] di Cinepleks Taman Ismail Marzuki.  Penulis bertanya kepada beberapa kawan aktifis, khususnya aktifis perempuan, apakah mereka mengenal atau mengetahui siapa itu Leila Khaled.  Rupanya, Leila tidak terlalu dikenal karena kemunculannya di awal 70’an saat dimana per-televisian Indonesia masih begitu dikontrol negara, membuat fenomena Leila luput dari perhatian para pembela HAM disini, termasuk aktifis perempuan disini.  Penulis menulis ulang sesuai dengan para pembaca Jurnal Perempuan, untuk memperkenalkan Leila Khaled, beserta Lina Makboul sang pembuat film.

           Siapakah Leila Khaled dan kenapa, judul film menyatakan dia pembajak?  Leila adalah seorang pejuang bangsa Palestina, yang menjadi terkenal justru melalui aksinya membajak pesawat.  Bagi bangsa Palestina, Leila adalah Pejuang Kemerdaan (Freedom Fighter) bagi bangsa Palestina.  Namun karena keberhasilan propaganda baik negara maupun pers “dunia barat”[3], maka yang lebih terbangun adalah citra Leila Khaled sebagai pembajak tersebut.

  Sebelum menonton film karya Lina Makboul ini, penulis memang membayangkan tangan Leila yang “bau darah” karena keberhasilannya sebagai pembajak.  Namun citra stereotip itu lenyap seketika dengan menonton film karya Lina Makboul yang telah berhasil membongkar stereotip.  Film ini merupakan film dokumenter-investigatif yang luar biasa bagus dan mencoba mengambil sisi pandang yang obyektif.   Pertama, karena semakin memberikan gambaran yang lebih komprehensif dari mozaik getirnya penghancuran secara sistematis, disengaja ataupun tidak disengaja, sebuah bangsa, yaitu bangsa Palestina, oleh beberapa negara yaitu: Amerika dengan sekutunya negara-negara di Eropa.  Kedua, karena mempertanyakan ‘Pelabelan’ dan ‘Stereotip’ selama ini dengan sisi pandangnya yang lain, Lina, berhasil memberikan ‘Identitas’ dan memberikan ‘Makna Baru’ perjuangan Leila Khaled.  Ketiga, film ini sekaligus mempertanyakan makna feminisme kepada Leila, karena berbagai macam label yang telah dilekatkan kepada seorang Leila, hanya karena dia perempuan dan telah berjuangdengan “cara-cara yang keras” 

Sekelumit Sejarah Tanah Palestina 

          Memahami perjuangan Leila Khaled, adalah juga memahami perjuangan rakyat Palestina, serta sejarah rumit tanah Palestina, yang dalam Alkitab dikenal dengan nama “Kanaan” atau ‘Tanah Terjanji’.  Di masa kekuasaan Kekaisaran Romawi, terutama pada masa Kaisar Titus (tahun 70 SM), bangsa Yahudi diusir keluar dari Palestina dan kota Yerusalem, kota suci bagi pemeluk agama Yahudi dengan “Bait Allah”nya dihancurkan.  Mulailah penjelahan bangsa Yahudi keseantero dunia, terutama di Eropa Timur dan Jerman[4].  Bagi bangsaYahudi, sejak saat itu mimpi kembali ke ‘Tanah Terjanji’ adalah obsesi yang secara turun-temurun disosialisasi dan diinternalisasi[5], bahkan hingga saat kini.

           Tanah Palestina kemudian, sejak + tahun 630 dikuasai bangsa Arab, halmana yang mencetuskan terjadinya Perang Salib, karena hendak menguasai kota Yerusalem.  Sesudah itu, Palestina tetap dikuasai bangsaArab.  Namun karena para pemeluk Kristen yang hendak berziarah tetap diperbolehkan, maka tidak terjadi konflik.  Pada abad pertengahan, karena perlakuan suku Turki Saljuk dimana Islam berkuasa, maka jemaat Kristen yang berziarah mulai terganggu.  Terjadilah Perang Salib II tahun 1096-1291 hingga Perang Salib VII, dimana secara berturut-turut secara berganti-ganti, kota Yerusalem dikuasai antara Islam dan Kristen.  Namun pada Perang Salib terakhir, Yerusalem tetap dikuasai bangsa Arab[6]

          Sesungguhnya, masuknya kembali Bangsa Yahudi ke Tanah Palestina sudah dimulai sebelum Perang Dunia I, yaitu pada tahun 1917 melalui “Deklarasi Balfour” yang diprakarsai oleh Inggris.  Namun baru pada periode sesudah Perang Dunia II-lah, sebagai akibat dari genosida bangsa Yahudi selama Perang Dunia II tersebuat, mendorong gelombang kembalinya bangsa Yahudi, khususnya dari Eropa, terjadi secara besar-besaran, sehingga tak pelak lagi “menggusur” bangsa Palestina yang sudah bermukim disitu selama puluhan abad[7].  Dan sejak saat itu, semakin rumitlah permasalahan Tanah Palestina. 

          Semestinya sejarah dan kita semua mencatat, apa yang terjadi dengan bangsa Palestina ini adalah justru sebuah fenomena yang tidak kalah menyedihkannya dari genosida pada P.D. II tersebut.  Dimana jutaan bangsa Palestina kemudian malah menjadi pengungsi, hidup di tenda-tenda pengungsi meninggalkan tanah pertiwi mereka, karena terusir dari tanah mereka sendiri.  Parahnya lagi, perang Arab-Israel yang semestinya dapat mengembalikan tanah mereka tersebut malah menjadi bumerang.  Sepenuhnya tanah Palestina malah menjadi negara Israel, dan dianggap sahih karena direbut paksa melalui perang.  Hal ini seakan dibiarkan saja oleh PBB hingga saat ini, atas dasar apa yang dikatakan diplomasi damai. 

           Sialnya Yahudi yang pulang ke “Tanah Terjanji”nya itu pada tahun 1948-an, ternyata juga membawa sekelompok [semacam] paramiliter yang disebut “The Stern Gang”, yang mengawali pembunuhan massal (massacre) di Deir Yassin dan kemudian di Kibya dan Tantura, di awal masa okupasi orang-orang Yahudi di tanah Palestina, yang membuat bangsa Palestina panik dengan pembantaian tersebut[8].

           Sialnya lagi, sejak saat itu hingga sekarang ini, bangsa Palestina terus diburu dan dibantai oleh orang-orang Yahudi, sementara diplomasi damai tidak juga menyelesaikan masalah ini.  Tapi pers internasional, khususnya pers Amerika atau Eropa, tidak pernah menganggap hal itu sebagai tindakan teroris atau biadab, atau sejenisnya.  Seolah-olah berita pembantaian sebuah bangsa –yang juga mirip dengan genosida yang terjadi dalam PD II– itu hanya teman minum kopi pagi hari mereka.  Bukan sebuah peristiwa kemanusiaan yang mengerikan dan yang patut menjadi perhatian seluruh dunia.

Propaganda Israel 

Kalau kita mencermati kolase dari stockshots berita-berita di masa lalu, yang digunakan Lina Makboul dalam filmnya.  Jelas-jelas dikatakan bahwa orang-orang Yahudi itu adalah “pengungsi” –yang datang entah dari negara mana saja di Eropa– yang “pulang kampung”.

The victim of the Holocaust have, after years in exile - a country they can call their own.”

Journey’s End.  The first of ten thousand Jewish refugees arrive at Haifa.  Reunions between long lost relations now write a happy ending to a tragic story.”

Sementara, kalau kita pahami, bahwa selama orang-orang Yahudi tersebut tinggal di berbagai negara di Eropa, mereka tidak tinggal di tenda-tenda, melainkan mereka tinggal secara layak di rumah-rumah yang cukup nyaman.  Seringkali dengan kelengkapan privilege, seperti piano dan alat musik yang lain[9] dengan segala benda seni yang bagus-bagus, atau rak buku yang menunjukkan derajat keterpelajaran orang-orang Yahudi yang hidup di Eropa tersebut.

  Jelas peran media sebagai alat propaganda justifikasi atau pembenaran okupasi (pendudukan) orang-orang Yahudi di Tanah Palestina, cukup siginifikan.  Sampai sejauh itu kemudian, hampir tidak didapati sisi pandang yang menunjukkan suara penderitaan bangsa Palestina.  Bahkan ketika negosiator PBB asal Swedia Folke Bernadotte dibunuh oleh anggota “The Gang Stern” sekalipun, hal ini dianggap sepi oleh pers Amerika dan negara sekutu Eropa.  Hingga saat ini, kemelut Israel-Palestina tidak mampu dan tidak berhasil mengangkat kasus pembunuhan tersebut.  Kemudian perang Arab-Israel 6 hari, menggenapi proses pengambil-alihan Tanah Palestina, yang seperti kita tahu sampai saat ini, kemelut di Bumi Palestina ini tidak pernah terselesaikan dalam damai. 

Dalam kondisi tidak terdengarnya suara penderitaan dan perjuangan bangsa Palestina inilah, muncul gagasan untuk membajak pesawat.  Dan seorang perempuan Palestina rela menjadi bagian dari perjuangan bangsanya.

  Dalam film kita bisa melihat ada dua gagasan untuk membajak pesawat.  Yang pertama, untuk menangkap Yitzak Rabin, yang dianggap bertanggung-jawab atas okupasi Tanah Palestina oleh Israel dan, untuk diadili secara “Fair Trial” di negara Arab yang damai.  Yang kedua, untuk menarik perhatian dunia internasional sehubungan dengan keadaan bagaimana yang dialami oleh bangsa Palestina, akibat okupasi tersebut.  Menyuarakan penderitaan dan mengungkapkan perjuangan mereka melawan okupasi Israel di Tanahnya sendiri.

I will explain why the plane was hi-jacked.  We had to; to get attention – so that the world would understand our case.  We weren’t refugees who were satisfied with aid.  It wasn’t a natural disaster that made us refugees.  We captured the planes to ask the world a question.  Who are the Palestinians?[10].

   Memang benar, bahwa dunia internasional tersentak oleh apa yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan Palestina, dalam hal ini Leila Khaled.  Sukses membajak pesawat.  Sebuah peristiwa fenomenal.  Namun sebuah propaganda yang lain dimunculkan, yaitu: bagaimana media massa memproklamirkan Leila Khaled sebagai teroris yang layak ditakuti dan perlu mendapat pengawalan ketat[11] dan kemudian  memberi label bahwa [setiap] pejuang Palestina adalah teroris. 

Label ini merupakan semacam pemberian identitas teroris kepada siapapun bangsa Palestina yang berjuang untuk kemerdekaan Tanah Palestina.  Sementara orang-orang Yahudi di Israel –dan mungkin juga  di banyak belahan dunia yang lain– menganggap, tindakan mereka membantai bangsa Palestina adalah bukan kekerasan, bukan teroris, bukan kejahatan.

Label tersebut bahkan kemudian telah menjadi kesadaran semu bagi kebanyakan orang-orang Palestina.  Contohnya, meskipun secara bercanda rekan Leila Khaled berbicara di depan kamera,

..”…You know Leila Khaled?  She is a terrorist. …”.

 

Meski akhirnya pernyataan tersebut diperbaiki,

… They want to make propaganda against her that she was a terrorist.  But really, she is not a terrorist.  She is a freedom fighter.” 

Label inilah yang kemudian melekat pada sosok kepribadian Leila Khaled, yang disebarkan oleh media Amerika dan Eropa yang pro okupasi orang-orang Yahudi di Tanah Israel, yang kemudian dipercaya oleh banyak orang yang terkena imbas dari propaganda tersebut.

Apakah Leila Khaled seorang Feminis?

          Sadar atau tidak, kita sesungguhnya hidup dengan cengkeraman pola berpikir yang suka melabel kalau perlu label itu kita cari-cari dalam pola gaya hidup; kita suka memberi stigma, termasuk atas nama memberikan dasar pemaknaan, sebuah sisi lain dari pola-pola labelisasi.  Dari labelisasi tersebut, terciptalah stereotip.  Dan semua itu sesungguhnya, semata-mata untuk membuat kita merasa nyaman.  Menciptakan sebuah areal di dalam pola berpikir kita, dimana kita bukan berada di areal stereotip, yang mungkin kita tidak menyukainya.  Maka ketika kita berhasil menciptakan stereotip, nyamanlah kita untuk meletakkan seseorang atau sekelompok orang tersebut.  Termasuk ketika seorang teman penulis mempertanyakan, apakah Leila Khaled itu feminis atau bukan?  Ini contoh pola pikir yang menjebakkan diri pada stereotip tersebut.

  Awal dari film inipun juga seakan terjebak dalam pola pikir labelisasi tersebut yang cenderung pada pola pikir yang stereotip.  Karena itu Lina Makboul perlu menampilkan sosok seorang perempuan yang kelihatan biasa, seperti layaknya perempuan-perempuan lain di usia 60-annya.  Padahal, perempuan yang tampak biasa tersebut adalah pembajak pesawat terbang perempuan pertama –dan mungkin satu-satunya– di dunia.  Seolah-olah, jika seorang perempuan tersebut adalah pembajak, dia harus berpenampilan bak militer, dengan senjata siaga dalam cengkeraman, atau berpenampilan yang layaknya bukan perempuan ibu-ibu.

  Stereotip ini jugalah yang herannya dikeluarkan tidak kurang oleh mantan Perdana Menteri Israel pada saat itu yang konon cerdas seperti Golda Meir itu.

Is this young lady will go to a convent?  Is she will like to get married and raised children?”

Film ini memang bukan film yang khusus dirancang sebagai “Film [Dokumenter] Feminis”, namun secara subtil tapi esensial, telah mampu mencakup pemikiran mengenai feminisme itu sendiri.  Sehingga orang sekaliber Golda Meir bisa ditampilkan sosok non-feminisnya tersebut.  Seperti halnya stereotip yang dipahami oleh banyak insan yang bekerja di media massa di negeri ini, bahwa seorang perempuan adalah feminis.  Padahal, semua orang yang memahami feminisme tahu bahwa jenis kelamin tidak menentukan apakah seseorang kemudian bisa disebut feminis atau bukan. 

           Esensi dari pernyataan Golda Meir tersebut juga merupakan citra stereotip patriarki tentang peran dan nilai laki-laki-perempuan.  Dimana nilai-nilai yang selalu dilekatkan kepada perempuan dalam perannya adalah, bahwa perempuan selayaknya berada di areal domestik saja, pada area yang “penuh kasih sayang”.  Menikah dan membesarkan anak-anak, sehingga dia menjadi perempuan yang agung.  Atau, masih menurut Golda Meir, kalau dia tidak menikah, sebaiknya pergi ke biara menjadi biarawati, lagi-lagi dalam peran yang “penuh kasih sayang” tersebut[12].

  Hampir mirip dengan esensi pernyataan Golda Meir tersebut, dalam sebuah bedah film mengenai “Tjoet Nyak Dhien”, seorang kawan feminis penulis menyatakan keberatan dengan fakta bahwa Dhien berperang, yang artinya membunuh lawan perangnya.  Ketika penulis bertanya lebih lanjut apa maksudnya, kawan ini menjelaskan bahwa membunuh atau berperang adalah kekerasan.  Namun kita juga harus memahami, perang memang mempunyai logikanya sendiri, terbunuh atau membunuh.  Sehingga peristiwa bunuh-membunuh yang terjadi di dalam perang, tidak mungkin dijelaskan dengan logika “kehidupan normal”, seperti misalnya relasi kekuasaan dalam patriarki yang dijelaskan dan dibedah oleh feminisme.

           Perlu kiranya mengesampingkan pandangan yang stereotip mengenai peran gender, dalam hal ini peran perempuan, untuk menghadapi, menanggapi dan menganalisis kehidupan seorang Leila Khaled.  Penulis hendak mengajukan asumsi bahwa, jika seseorang melakukan tindakan, apakah itu tindakan kriminal, tindakan pembajakan pesawat, tindakan yang terpuji maupun menjadi Perdana Menteri atau Presiden sekalipun, hal tersebut dapat dilakukan oleh siapapun dari kedua jenis kelamin.  Bahkan juga dilakukan oleh para “The Third Gender” / Jenis Kelamin Ketiga.  Sehingga, kita disini perlu memahami bahwa, apa yang dipahami dan dilakukan Leila Khaled itu adalah demi negaranya, menjadi pejuang dan berperang melawan aksi-aksi terorisme Zionisme demi kemerdekaan Tanah Palestina.  Dan penulis kira, tindakan menjadi penganut “politically correct”, bahwa sebagai feminis harus anti-kekerasan, tidak akan mungkin dapat menjelaskan dan menganilisis fenomena Leila Khaled yang menarik ini.

  Leila sadar betul, bagaimana seharusnya seorang perempuan bertingkah laku.  Misalnya saja, dia menjelaskan kepada Lina diawal wawancaranya, bagaimana seharusnya seorang perempuan duduk, menurut aturan yang berlaku bagi perempuan.  Tapi Leila membiarkan saja hal tersebut, dia tetap duduk pada posisi yang dia sukai.  Itu sebabnya, nilai domestikasi yang biasanya berlaku bagi perempuan dia abaikan dan kemudian memilih untuk melakukan suatu tindakan yang mengejutkan dunia, membajak pesawat, meski tidak pernah sekalipun “tangannya membunuh”.

           Sebelum menonton film mengenai sang Pembajak ini, penulis curious (mempertanyakan) mengenai, sejauhmana kekerasan yang dilakukan perempuan ini[13].  Karena paham bahwa situasi yang dihadapi dan dipahami Leila merupakan situasi perang.  Penulis sungguh kecewa tidak mendapatkan gambaran yang cenderung stereotip, sang “Wonder Woman” membantai sekelompok orang dalam aksi pembajakan di pesawat, layaknya ‘aksi heroik’ “Rambo” seolah Amerika Serikat memenangkan perang Vietnam.  Meskipun kita semua tahu, A.S. kalah total di semua lini perang Asia Tenggara.

  Sebaliknya, kita semua bisa menyaksikan dalam film, sebuah pembajakan pesawat yang tenang tapi penuh dengan kewibawaan dari “Kapten Shadia Abu Ghazali” (baca: Leila Khaled) seorang perempuan Palestina.  Tidak ada pertumpahan darah,yang ada adalah peringatan agar penumpang segera meninggalkan pesawat, karena akan diledakkan.  Sehingga sejarah mencatat bahwa, tidak ada korban sipil yang tewas dalam peristiwa pembajakan ini, maupun sesudahnya dimana Leila terlibat.  (Bandingkan juga dengan tragedi pada Olimpiade Munich 1972)

  Pada titik inilah yang sesungguhnya apa yang dilakukan Leila Khaled mempunyai nilai yang berbeda.  Kalaupun ini merupakan bagian dari perang dalam rangka perjuangan bangsa Palestina, maka perang Leila ini adalah perang yang tidak berdarah-darah.  Berbeda misalnya dengan kejadian pada tahun 1972, pembantaian atlit Israel di Olimpiade Munich.

  Tapi apa lacur, mesin propaganda yang ada kadung membentuk opini publik yang stereotip pada Leila Khaled, seolah-olah tangannya berlumuran darah terorisme.

Jika kita simak apa yang dikemukakan oleh mantan Perdana Mentri Golda Meir, dimuka pers:

… She will do it again to kill Israeli men, women and children.  This is what their organization stands for.

yang memberikan citra bahwa Leila Khaled adalah teroris pembunuh berdarah dingin.  Propaganda ini merupakan pembalikan kenyataan.  Karena, kenyataan yang sebenarnya, pernyataan Golda Meir adalah cerminan apa yang justru “The Stern Gang” lakukan. Bangsa Yahudi itulah yang memulai pembantaian rakyat Palestina.

           Dengan demikian terdapat dua hal yang harus ditanggung dan dihadapi Leila –dan mungkin juga perempuan-perempuan lain di muka bumi ini yang rebelious atau perempuan yang challenging terhadap hegemoni nilai-nilai patriarki–.  Pertama stereotip peran gender, terutama ketika dia harus berhadapan dengan para jurnalis, yang pada saat itu umumnya adalah laki-laki.  Kedua pelabelan “teroris” yang ditempelkan pada punggung Leila.

  Sebagai seorang jurnalis televisi Swedia, dimana filmnya ini merupakan debutnya, Lina Makboul sesungguhnya berhasil mendapatkan dan menampilkan sisi pandang Leila Khaled mengenai pelabelan dan menghadapi stereotip peran perempuan dalam dunia patriarki yang senantiasa ditampilkan di media masa.  Karena hal-hal tersebut juga merupakan pertanyaan-pertanyaan pribadinya tentang sosok Leila Khaled.

Misalnya, bagaimana Leila yang sekarang ini melihat kembali peristiwa dan dirinya ke masa lebih dari 30 tahun silam tersebut.

… But then I become scared, scared of myself.  I was scared I would suffer delusions of grandeur.  That’s why I moved to a refugee camp.

Juga pertanyaan-pertanyaan wartawan yang membuatnya jengkel, karena menanyakan hal-hal yang personal, yang stereotip perempuan: berapa lama berdiri di depan kaca; punya pacar tidak, dan bukan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya sebagai pejuang [Palestina].

They thought I was unfeminine.  As if I wasn’t human.

After, he wrote that I was a cold person who couldn’t fall in love.

Bagi Leila, pertanyaan-pertanyaan para wartawan tersebut, mengandaikan bahwa dia adalah seorang aktris atau seorang penari.  Tetapi yang menarik adalah jawaban Leila kepada para wartawan tersebut:

“ … it was easier to hi-jack an airplane than to teach”

Menurut penulis, bukan karena Leila Khaled seorang pejuang kemerdekaan Tanah Palestina atau bukan karena perbuatannya membajak pesawat, lalu dia bisa disebut sebagai feminis.  Namun lebih karena pemikiran-pemikirannya yang berhasil digali secara mendalam oleh Lina Makboul.  Karena dari hasil pemikirannya tersebutlah, maka dia menjadi legenda dan sejarah bangsa Palestina dan dunia. 

          Perjuangan Leila ini bahkan juga telah memberikan inspirasi kepada seorang penulis John Le CarrĂ© untuk menulis sebuah novel “Little Drummer Girl”.  Bagi penulis sendiri, film karya Lina Makboul ini jelas memberikan inspirasi yang amat berwarna dengan berbagai faset perjuangan, kehidupan dan pemikiran. 

Kalibata, 9 Juli 2007 – 3 Desember 2007

Untuk adinda L, yang senantiasa menemani dan menyemangati saat-saat sakit


Referensi

Buku :

Shadily, Hasan, et.al., Ensiklopedi Indonesia, Penerbit PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta, 1989

Film:

“One Day in September”, sutradara Kevin MacDonald, Narasi Michael Douglas, Sonny Pictures Classics, 2001.

“Schindler’s List”, sutradara Stephen Spielberg, Universal Pictures, 1997

“The Pianist”, sutradara Roman Polanski, Focus Feature, 2002

 

[1] Artikel ini pada awalnya merupakan artikel bedah film yang dipresentasikan pada Diskusi Film “Leila Khaled Hijacker”, dalam rangka Eagle Awards, diselenggarakan oleh Indocs, di Cinepleks Taman Ismail Marzuki, 11 Juli 2007.

[2] Kewarga-negaraan Swedia, keturunan Palestina.

[3] Yang dimaksud penulis dengan dunia barat adalah negara-negara anggota NATO, termasuk Amerika Serikat

[4] Ensiklopedi Indonesia hal. 2525,dan hal. 3959

[5] Penuturan remaja Yahudi yang tinggal di Rusia, dalam film dokumenter “Hijack”, dalam Program “Inside Crime”, National Geographic Cahnnel, Rabu 17 Oktober 2007, pk.22.00-23.00

[6] op.cit. hal. 2661.

[7] Lihat juga dalam Film “Leila Kaled Hijacker”, dimana footage yang tepat disodorkan Lina Makboul kepada penonton.

[8] Dari sebuah film dokumenter yang lain “One Day in September” (Kevin MacDonald), dinyatakan bahwa terjadi pembantaian bangsa Palestina oleh Gang Zionist juga di Galilea pada tahun 1948.  Jadi, sesungguhnya pembantaian oleh orang-orang Yahudi terhadap bangsa Palestina terus-menerus terjadi, sejak tahun 1948.  Bandingkan dengan invasi Iraq ke Kuwait, atau perang saudara di bekas negara Yugoslavia antara Serbia dengan Kosovo atau Bosnia-Herzegovina, dimana Rodovan Karadzig dinyatakan sebagai penjahat perang.  Sementara Mosye Dayan sang jenderal perang Israel dan telah melakukan pembantaian tidak dianggap sebagai penjahat perang

[9] Bandingkan dengan penggambaran gaya hidup orang Yahudi di Eropa yang ada pada film “The Pianist” (Roman Polanski), atau “Schindler’s List” (Stephen Spielberg).

[10] Bandingkan: Pernyataan dari Jamal al Ghasey pelaku pembunuhan atlit Israel-Yahudi pada Olimpiade Munich pada tahun 1972 (atau 2-3 tahun setelah Leila Khaled membajak pesawat), dalam film dokumenter “One Day in September” (Kevin MacDonald – Sony Pictures Calssics).  Meski tujuannya sama-sama untuk menarik perhatian dunia internasional, namun peristiwa ini menjadi awal dari terorisme berdarah yang dilakukan oleh pejuang Palestina.

[11] Seolah tanpa pengawalan ketat, dia adalah seorang “wonder woman” yang akan mampu melawan dan melumpuhkan beberapa orang sekaligus.

[12] Dalam studi media monitoring pada Koran “Pos Kota” mengenai gender dan seksualitas yang penulis lakukan lebih dari 10 tahun yang lalu mendapati bahwa jika kriminalitas dilakukan oleh perempuan, hal itu akan merupakan semacam kejutan bagi reporter, dan kemudian kurang lebih menuliskan “perempuan kok berbuat kriminal”.  Esensi dari pola piker ini adalah stereotip peran gender itu tadi, bahwa perempuan selayaknya tidak berbuat kriminal, karena dia mahluk yang semestinya penuh kasih sayang.  Padahal kebaikan ataupun kejahatan, termasuk kriminalitas bias dilakukan oleh siapa saja, tidak terlepas jenis kelaminnya.

[13] Bandingkan juga dengan tragedi pada Olimpiade Munich 1972, dalam Film “One Day in September”.

Template by : kendhin x-template.blogspot.com