Senin, Mei 04, 2009

Sesudah Tirai Pertunjukkan Ditutup; usai jugakah pertinggal?

 

Sesudah Tirai Pertunjukkan Ditutup; usai jugakah pertinggal?

Oleh BJD. Gayatri

 

 

Pengalaman berada dalam sebuah ruang yang luas dan lapang dengan ruang yang sempit akan membawa sensasi yang berbeda.  Sebagai sebuah contoh pada pengalaman ruang yang luas, lapang dan lebar saja, misalnya untuk beberapa film, sensasinya akan berbeda jika kita menonton film pada ruang bioskop dengan pada layar kaca yang lebih kecil.  Dan untuk beberapa film sensasi ruang bioskop yang luas, lapang dan lebar adalah mutlak.  Sebut film, film English Patient atau film-film karya Kurosawa, misalnya.  Jika ada yang lebih ekstrim sebagai contoh adalah dalam pengalaman teater imax, yang pasti tidak dapat dikejar dan terpuaskan sensasinya jika dalam bentuk home theater sekalipun.  Namun film adalah pengalaman cita rasa dwidimensi itu biasanya sekedar menampilkan wujud-wujud gambar saja, bukan wujud-wujud entitas yang hidup dan bernafas.

 

Itu sebabnya, menonton sebuah pertunjukkan tridimensi yang menampilkan wujud-wujud yang hidup dan bernafas, mestinya akan memberikan sensasi interaktif yang bisa jadi jauh lebih spektakuler bagi para penontonnya, karena lebih bermakna.  Sebuah contoh sederhana, fenomena live music di kafe-kafe yang marak bertebaran dan digemari.  Orang datang, karena sensasi cita rasa dari pertunjukkan yang hidup adalah merasakan adanya kehadiran (presence).

 

Bagi para pencinta dan pengapresiasi seni, khususnya seni pertunjukkan, menyaksikan pertunjukkan dari wujud yang hidup juga memiliki sensasi dan kepuasan bathin tersendiri, ketimbang sekedar gambar yang hidup.  Apakah proses sensasi ini disadari maupun kurang/tidak disadari.  Pada pertunukkan teater maupun tari, barangkali kompleksitas dan kelengkapan yang disajikan, boleh jadi, memberikan “makanan” tersendiri bukan hanya untuk sensasi syaraf belaka.  Namun lebih jauh juga memberikan pengayaan bathiniah.  Disana, selain ada lakon atau cerita atau kisah, juga ada gerak dan tata laku, ada juga tata musik, tata ruang/tata panggung dan tata cahaya.  Sungguh, bukan kerja yang sepele untuk dapat mewujudkannya.

 

* * *

Beberapa waktu lalu, pada sebuah pertunjukkan tari yang memadukan antara tari Jawa dan Bali dalam lakon “Calon Arang”[1], penulis tergerak dan terpesona oleh Tata Musik[2] perpaduan antara Jawa dan Bali[3].  Setengah berharap meskipun paham lebih banyak tidak mungkinnya, maka penulis bertanya kepada Bulantresna, kalau-kalau barangkali pertunjukkan tari ini menjual semacam sound track dari Tata Musik yang digunakan, dalam bentuk kaset maupun CD.  Alih-alih dapat membawa serta sensasi tridimensi seni pertunjukkan kita, agar sensasi itu dapat berkepanjangan dan dinikmati kapan saja, meski sudah bisa diduga, kaset atau CD tidak tersedia.  Sayang sekali.  Namun yang “sayang sekali” ini bukanlah kejadian pertama yang penulis alami. Apakah itu Tata Musik dari pertunjukkan tari sendiri, misalnya, maupun dari pertunjukkan teater.

 

Barangkali terjemahan istilah terminologis Tata Musik dari Music Score memang belum terlalu dikenal.  Music score, secara harafiah berarti not balok[4].  Tapi disini hendak dibedakan kata sebagai istilah/terminologis dengan arti kata secara harafiah.  Secara peristilahan, Music Score/Tata Musik berarti musik yang dirancang dan dianotasi khusus untuk mendampingi apakah itu adalah Tari, Treater maupun Film. Istilah ini memang tergolong masih baru, dimana dunia filmlah yang mengintrodusir istilah ini untuk membedakan dengan musik sebagai ilustrasi musik, atau membedakan dengan genre film musikal[5].  Dan dengan adanya sebuah kategori penghargaan Academy Awards untuk Music Score atau Tata Musik[6] (baca: bukan ilustrasi musik saja dan bukan juga dipahami sebagai not balok)[7], menjadi salah satu penghargaan, khususnya kategori Original Music Score.  Maksudnya Tata Musik tersebut memang khusus dibuat untuk film tersebut.  Sebagai bandingan juga, ketika penulis mengadakan semacam wawancara kepada beberapa orang untuk bahan penulisan ini, istilah Tata Musik memang sudah dikenal, namun bukan dengan istilah Music Score, meski beberapa orang memahami sebagai semata ilustrasi musik untuk tari atau teater.

 

Sebagai bandingan yang lain, misalnya, musik dalam seni pertunjukkan yang memainkan elemen penting adalah dalam opera, yang jika dalam film, mungkin, merupakan genre film musikal.  Namun, karena pertunjukkan opera tidak begitu dikenal luas disini, kecuali pencinta dan pemerhati kiprah Avip Priatna yang sudah mulai mempertunjukkannya, namun baik secara frekuensi maupun jumlah penontonnya sangat terbatas.  Meskipun secara umum mendunia, frekuensi pertunjukkan opera juga tidak sering-sering amat.  Sementara pemerhati dan pencinta seni pertunjukkan di negara sendiri, baik tari maupun teaterpun sudah termasuk penonton yang marjinal.

 

Barangkali yang bisa dibedakan antara musik sebagai ilustrasi dengan musik sebagai Tata Musik adalah proses kreatifnya dan musiknya itu sendiri.  Seringkali, musik yang digunakan sebagai ilustrasi hanya mengambil dari musik yang sudah ada.   Atau ada juga pertunjukkan tari yang musiknya berasal dari gerakan-gerakan para penarinya, seperti yang pernah dipertunjukkan oleh Chandralekha[8].  Sementara untuk Tata Musik, adanya pengembangan konsep selama proses kreatif apakah itu untuk Tari, Teater maupun Film.  Ambil contoh, pengembangan Tata Musik dalam pertunjukkan kolaborasi Bedaya-Legong baru-baru ini[9], dimana elemen musik jelas-jelas dirancang dan dibuat untuk pertunjukkan tersebut.  Suatu hal yang mengusik rasa ingin tahu penulis sebelum menonton pertunjukkan tersebut adalah: bagaimana nanti gamelannya?; balikah atau jawakah?; atau jika keduanya dimainkan, bagaimana memadukan langgam jawa dengan bali?  Sesungguhnya kalau saja kita mau menyadari apalagi mengakui, tanpa harus melihat tariannya saja, Tata Musik kolaborasi Bedaya-Legong sudah seharusnya diacungi jempol.

 

Lebih jauh, Tata Musik dari sebuah pertunjukkan, disadari atau belum, sesungguhnya dapat diapresiasi dan dinikmati secara terpisah terlepas dari pertunjukkan itu sendiri.  Selain Tata Musik Bedaya-Legong itu tadi, banyak Tata Musik baik Tari maupun Teater yang bisa diperlakukan seperti itu.  Sebut misalnya, Tata Musik dari Teater Koma, yang disetiap pertunjukkannya, hampir selalu diiringi musik yang tidak sekadar ilustrasi dan digarap oleh tidak kurang dari Harry Roesli.  Dalam pengalaman tridimensi penulis, masih ingat bagaimana pertunjukkan “Opera Kecoa” itu[10]  atau “Opera Julini”[11].  Kaya dengan warna-warni lagu dan tari juga, yang untungnya bukan pertunjukkan opera yang sesungguhnya hanya judulnya saja, sehingga masih bisa selesai dalam waktu 3-4 jam saja.  Yang lain lagi misalnya, seperti karya Sardono w. Kusumo (sebutlah: “Dongeng Dari Dirah”[12] atau “Hutan Plastik”[13] Tata Musik Otto Sidharta); karya M. Ichlas (“Selendang Api 1”[14], Tata Musik oleh M. Ichlas dan Epi Martison), atau Jefry Andi Arif yang penataan musiknya selalu digarap oleh Toni Prabowo.  Tetapi justru disitu masalahnya, dalam sebuah pertunjukkan baik Tari maupun Teater, musik masih dilihat sebagai elemen penunjang saja.  Padahal sebagai Tata Musik, dalam hal ini bicara soal musiknya saja, musik tersebut masih bisa diapresiasi dan dinikmati secara terpisah.  Mungkin sambil membayangkan gerakan-gerakan atau babakan dari tarian tersebut.  Barangkali jika saja para Penata Musik manggung sendiri, seperti laiknya dalam pertunjukkan musik simponi atau kelompok-kelompok musik atau band-band, maka musiknya baru mendapat perhatian dan apresiasi dari penonton secara utuh.  Menurut Ratna Riantiarno, mungkin untuk pentas teater, dalam hal ini Teater Koma, agak sulit untuk memisahkan karya musik itu sendiri, karena merupakan bagian dari adegan.  Tapi mungkin juga, karena kita belum pernah mencoba memisahkan antara Tata Musik itu untuk diapresiasi dan dinikmati yang terpisah dari perntunjukkan baik tari maupun teater.

 

Alasan yang dikemukakan dan yang cukup masuk diakal, jangankan memikirkan semata soal Tata Musik, sebuah pertunjukkan dapat digelar juga merupakan upaya tersendiri dalam segi pendanaan.  Apalagi dengan kemajuan tehnologi, pesaing terdekatnya yang bisa lebih populis, yaitu Film, membuat Tari apalgi Teater menuju pada area marjinalisasi, alias terpinggirkan.  Karena sifatnya yang kurang populis dan jangkauannya yang terbatas.  Bandingkan dengan fenomena pemutaran perdana sebuah film yang bisa dilangsungkan serentak di berbagai negara, sehingga menjangkau ribuan bahkan ratusan ribu penonton sekali tayang.  Ditambah dengan aneka merchandise-nya dari soundtrack, boneka para tokoh hingga kostum dan mug, yang membuat film menjadi budaya populer dengan jangkauan (reach) jumlah penonton yang cukup besar.  Meski jangan lupa, film dapat berbuat seperti itu juga karena dukungan pemodalan dan dana yang memadai serta manajemen yang adekuat.  Sehingga kita masih boleh menikmati dan mengapresiasi Tata Musik kaliber Oscar, seperti Ennio Moricone (“The Mission”) ataupun Michael Nyman (“The Piano”), secara terpisah dimana saja dan kapan saja suka.  Karena untuk “The Piano” sendiri, misalnya, pada awalnya merupakan kategori film independen, artinya dengan permodalam terbatas ketika membuatnya, diluar dari modal kapitalis industri film di Amerika Serikat.  Namun begitu film tersebut terprediksi akan mampu merebut penghargaan bergenggi Academy Awards, maka langsung sistim jaringan distribusi film membelinya.  Dan jadilah film ini terditribusi dengan baik, akibatnya ditonton banyak orang dan turut mengangkat nama sang Penata Musik.

 

Namun, penulis kira, jangan hanya menunjuk kelebihan yang dimiliki oleh dunia Film karena keuntungan tehnologi.  Jauh sebelum tehnologi berkembang seperti sekarang ini, masih dalam kelas piringan hitam, dunia opera sudah melakukannya.  Justru karena keterbatasan jangkauan, juga keterbatasan kemampuan untuk pementasan, maka seperti juga musik klasik, selalu ada rekaman pertunjukkan opera.  Sehingga kita tidak kehilangan dan tetap dapat menikmati opera macam “Madame Butterfly”[15] dengan vokal sopran khas Maria Callas, misalnya.  Juga tetap dapat menikmati karya-karya Sir Andrew Lloyd Webber, seperti: “Jesus Christ Super Star”; “Cats” atau “Evita”, dengan suara merdu Sarah Brightman.  Dan ketika tehnologi audio-visual semakin berkembang, kita juga tetap dapat menikmati pertunjukkan “Opera Ida”[16] yang spektakuler di sebuah Piramida di Mesir.  Betul memang, sensasi ruang tridimensi dengan pertunjukkan secara langsung yang hidup akan jauh berbeda dan tidak bisa tergantikan.  Namun kita mungkin masih menyisakan tempat untuk apa yang disebut apresiasi dan gambaran kehebatan dan spektakulernya pertunjukkan tersebut, sekaligus spektakuler mahal alias biaya produksinya yang menghabiskan lebih dari US$ 650.000.  Apalagi untuk ukuran negara melarat macam Indonesia ini.

 

* * *

 

Barangkali, persoalannya bukan semata pada jumlah dana atau perlunya sistim kapitalisme dengan segala manajemennya yang berorientasi pada profit dan pasar semata.  Demi dan untuk ruang apresiasi dan penghargaan terhadap seluruh kerja seni pertunjukan itulah, maka sesudah tirai ditutup seusai pementasan, produksi audio-visual perlu menjadi pertimbangan, meski sekali lagi tidak dapat menggantikan sensasi ruang tridimensi itu sendiri.  Sehingga kita tidak hanya memegang atau menyimpan buku program seusai sebuah pertunjukkan.  Juga bukan semata sebagai pertinggal alias arsip dari sebuah pertunjukkan saja, yang disimpan di kearsipan masing-masing gedung, Dinas Budaya dan Pariwisata atau Dewan Kesenian Jakarta, maupun pada orang-perorang dari para senimannya.  Yang hanya dapat terakses oleh orang-orang yang kebetulan tahu mengenai pementasan tersebut dan cukup beruntung untuk kenal dengan para senimannya atau akses ke kearsipan lembaga-lembaga tersebut.

 

Kalau hendak mencermati, sesungguhnya upaya tersebut bukannya tidak pernah dilakukan.  Upaya untuk memproduksi Tata Musik sudah pernah dilakukan.  Sebutlah Slamet Abdul Syukur juga sudah pernah memproduksi, hanya saja dengan kualitas yang tidak seperti diharapkan, karena keterbatasan dana, masalah yang klasik.  Kalaupun dengan ketersediaan dana yang memadai seperti Toni Prabowo juga sudah melakukannya.  Namun baik produksi Slamet maupun Toni terbentur masalah kedua, yaitu distribusi dan ketiadaan pasar atau orang mungkin tidak akrab dengan musik mereka.  Contoh yang lain untuk produksi audio-visual misalnya, DVD dari Art Summit keempat, juga pernah diproduksi, karena ada alokasi dana untuk itu.  Tapi kemana distribusinya, walahualam, atau mungkin sudah dapat diduga, ke tempat yang itu-itu lagi.

 

Bicara soal distribusi artinya juga bicara soal pasar atau peminat.  Jika ada peminat alias pasar bisa dipastikan ada daya beli.  Pasar ini tidak, kiranya, belum dikembangkan karena pasar untuk jenis Tata Musik atau sekedar rekaman sebuah pertunjukkan Tari atau Teater memang dibutuhkan apresiasi.  Sama seperti alasan kenapa seseorang membeli VCD atau DVD dari pertunjukkan sebuah Opera misalnya.  Sementara untuk apresiasi budaya pop atau kesenian yang lebih populis seperti musik dan film, sudah sangat menggejala, apalagi dengan dimungkinkan dan adanya channel TV khusus seperti MTV, yang memang diadakan dan dikelola dengan logika pasar demi meraih keuntungan.  Selain memang apa yang masuk dalam kategori budaya pop ringan-ringan saja dicerna, sementara untuk sebuah seni dalam hal ini seni pertunjukkan memang tidak dapat dengan serta merta dicerna, apalagi langsung menghibur.  Konon, hanya membuat kening berkerut dan bertambah stress ditengah tekanan hidup kota Jakarta yang cenderung membuat orang mudah terjangkiti stress.  Adalah Otto Sidharta Penata Musik kita, yang kurang dikenal oleh publik yang bukan dari dunia seni itu, mengemukakan, bahwa sesungguhnya pasar itu harus diciptakan.  Tentunya juga dengan semakin gencar melakukan apresiasi untuk dunia seni pertunjukkan kita.  Masih harus banyak lagi kelompok Apresiasi Seni Pertunjukkan selain yang dibuat oleh Ratna Riantiarno dan Nungky K. cs.

 

Penulis berandai-andai, jika saja sesudah tirai ditutup para penonton dapat membawa pulang CD/VCD/DVD dari pertunjukkan tersebut, sehingga dengan memutar ulang audio atau audio-visual pementasan yang bersangkutan, selain mengulang sensasi ruang tridimensi yang memperkaya bathin, juga dapat menularkan kepada siapapun.  Kepada keluarga atau rekanan, sebagai semacam promosi “dari mulut ke mulut”.  Masih juga berandai-andai, mungkin perlu juga untuk menggaet lebih banyak pengusaha dan dari kelas kakap untuk berminat pada pengembangan apresiasi Seni Pertunjukkan di tanah air.  Karena kalaupun ada pengusaha yang sudah berkiprah di dunia seni lebih dari 20 tahun, namun pengusaha tersebut baru satu-dua, dan dari kelas teri pula[17].  Analoginya mungkin seperti Toko Buku Yose Rizal Manua, yang kecil dan memojok di pojok Graha Bhakti Budaya.  Namun coba cari misalnya, buku-buku langka tentang teater atau tentang kesenian/kebudayaan yang lain, Yos berupaya untuk mengadakannya.  Upaya bisa mulai dari sedikit-sedikit dan kecil-kecil saja, seperti yang sudah dilakukan Slamet dan Toni, tetapi harus dimulai dan melanjutkan yang sudah ada. Pe-Er untuk kita semua.

 

 

 

=============

 

BJD. Gayatri – Pemerhati Seni.

 

Pekerjaan sehari-hari: Konsultan di bidang Development/Pembangunan.

 

Kegiatan: selain aktif di bidang sosial politik (misalnya sebagai pendiri: Majelis Bhineka Tunggal Ika, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, serta Suara Ibu Peduli) juga aktif di bidang budaya, misalnya dengan terlibat Oncor Studio sejak tahun 1988 sampai bubarnya di tahun 1994, terlibat juga Pameran Gerakan Non-Blok 1995, beberapa Biennale Dewan Kesenian Jakarta dan IDF 1996.  Pernah mengajar di IKJ  dari tahun 1992-1998 dan terlibat produksi Teater Lembaga.  Saat ini antara lain aktif di Kultur Pot.

 

 



[1] “The Amazing of Bedaya-Legong; Calonarang”, karya kolaborasi Retno Maruti dan Bulantresna Djelantik.  Graha Bhati Budaya, Taman  Ismail Marzuki, 22-23 April 2006.  (Meski di buku program salah mencantumkan tahun).

[2] Penulis menggunakan istilah Tata Musik, dari terjemahan istilah Music Score.  Juga dalam menuliskannya, akan digunakan huruf besar, untuk membedakan Tata Musik sebagai sebuah peristilahan, bukan sekedar kata biasa.  Lihat pembahasan selanjutnya dalam artikel.

[3] Penata Musik/Gending oleh Lukas Danaswara (Jawa) dan I Gusti Kompyang Raka (Bali).  Sumber buku program.  Konsultan Tata Musik I Wayan Diya, sumber Rury Nostalgia.

[4] Berdasarkan World Dictionary Book dan Ensiklopedi Indonesia.

[5] Dalam dunia film musik, selain adalah elemen yang penting juga merupakan bidang kajian tersendiri, misalnya kajian tentang genre film musical atau kajian ilustrasi musik daqlam film melodrama. (“Women in Film; an International Guide”, Kuhn ed., Fawcett Columbine, New York 1990). 

[6] Sebagai informasi tambahan, dalam semua referensi yang sudah dilacak ynag kebetulan bertahun terbit sebelum tahun 1990, istilah/terminologi Music Score/Tata Musik memang belum masuk dalam pembahasan.  Baru pada website Academy Awards istilah Music Score ini masuk dalam salah penghargaan.  Artinya, diluar bahan acuan cetak bukan virtual, masih sulit dilacak.

[7] Pembicaraan ini juga terdapat dalam Siaran Langsung TV Indosiar 6 Maret 2006 pk. 09.00-12.00, pada acara penghargaan Academy Awards tahun 2006, diskusi antara Nia Dinata dan Garin Nugroho, sebagai bahan acuan perbandingan.

[8] Art Summit I, TIM, Teater Arena, Agustus 1995.

[9] Lihat Catatan-Akhir no. 1, 2, dan 3 diatas.

[10] “Opera Kecoa” pertama kali dimainkan pada tahun 1985.  Penulis memaksudkan pementasan pada tahun tersebut.  Lakon ini selain dimainkan di Jakarta juga dimainkan di Bandung.  Tahun 2002 kembali dipentas, dengan mengulang di Jakarta dan Bandung.

[11] Tahun 1986.  Lakon ini, meski merupakan lanjutan sequel “Opera Kecoa”, namun tidak pernah dipentaskan kembali.

[12] Tanpa data Penata Musik

[13] Tahun 1982

[14] Tahun 1996

[15] BINHAD.  MAAF SAYA LUPA KARYA SIAPA

[16] Tahun 1996.

[17] Salah satu pengusaha yang dimaksud adalah Pia Alisyahbana, misalnya.  Dan seperti pengakuan Pia sendiri kepada penulis pada suatu waktu, beberapa tahun silam, dia mengaku hanya pengusaha teri.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com